FAKTA BALI – Sebuah studi terbaru menemukan hubungan antara doomscrolling dengan perasaan cemas, putus asa, tidak percaya, dan curiga kepada orang lain
Penelitian ini mensurvei 800 mahasiswa dari Amerika Serikat dan Iran. Doomscrolling sendiri adalah seseorang yang mengonsumsi konten negatif atau menyedihkan di media sosial secara berlebihan.
Peneliti utama studi dari Flinders University, Reza Shabahang mengatakan paparan berita negatif secara terus-menerus dapat berubah menjadi sumber trauma vikarius, yang menyebabkan audiens dan pembaca merasa seolah-olah mereka mengalami trauma yang sama.
“Ketika kita terus-menerus terpapar berita dan informasi negatif secara online, hal ini dapat mengancam keyakinan kita tentang kematian dan kendali yang kita miliki atas hidup kita sendiri,” ungkap Shabahang.
Menurut tim peneliti, paparan tersebut dapat menyebabkan perasaan bahwa hidup itu rapuh dan terbatas, kesepian, hingga membuat seseorang tidak memiliki kendali penuh terhadap hidup mereka.
Dalam laporannya, tim juga menemukan bahwa paparan berita negatif yang terus menerus akan menantang asumsi mendasar tentang keadilan dan kebajikan dunia.
Psikolog Dr Susan Albers mengatakan doomscrolling dapat memperburuk masalah kesehatan mental, insomnia, dan persepsi terhadap realitas. Pasalnya, paparan berita atau informasi di media sosial dapat memicu atau bahkan memperburuk perasaan depresi.
“Saat kita depresi, kita sering mencari informasi yang dapat mengonfirmasi apa yang kita rasakan. Dan banyak orang yang tidak sadar bahwa itu malah akan memperburuk perasaan depresinya,” terang Dr Albers.
Untuk menghindari efek negatif dari doomscrolling, psikolog tersebut mengajak semua orang untuk belajar mengendalikan dan membatasi konsumsi berita dan media sosial mereka. Mulai dari mengambil jeda dari media sosial hingga fokus pada masa sekarang.
“Menjaga jarak emosional yang sehat dari hal-hal negatif pada akhirnya dapat membantu Anda sehat secara mental,” tukas Albers.