NASIONAL – Sebuah fenomena unik sekaligus kontroversial, sound horeg, telah merajalela di berbagai pelosok Jawa Timur.
Sistem audio rakitan berkapasitas raksasa ini, yang mampu menghasilkan dentuman suara super keras hingga menimbulkan getaran, kini menjadi primadona di berbagai acara rakyat, mulai dari pawai desa, pesta warga, hingga ajang battle sound. Popularitasnya meroket, seolah menjadi irama wajib dalam setiap perayaan.
Namun, di balik gemuruh dan kemeriahan yang ditawarkan, sound horeg menyimpan polemik yang tak kalah menggelegar. Keresahan sosial yang ditimbulkannya bukan lagi rahasia umum.
Mantan Wali Kota Surabaya yang kini menjadi politikus PDIP, Tri Rismaharini, bahkan menyebut sound horeg sebagai salah satu keluhan utama generasi Z di Jawa Timur, bersanding dengan isu lapangan kerja.
Dampak negatifnya meluas: mulai dari gangguan ketertiban umum, terhambatnya aktivitas sehari-hari warga, hingga potensi pelanggaran norma sosial. Di Pasuruan, misalnya, sempat terjadi insiden “battle sound horeg” di tengah laut saat perayaan Lebaran Ketupat Mei 2025 lalu.
Pihak kepolisian setempat, melalui Kasi Humas Polres Pasuruan Kota Aipda Junaidi, menegaskan bahwa acara tersebut tanpa izin dan berpotensi merusak ekosistem laut. Kekhawatiran ini beralasan, sebab suara sound horeg bisa mencapai 135 desibel, jauh melampaui ambang aman bagi manusia dan satwa laut berdasarkan standar WHO dan NOAA.
Puncak dari polemik ini adalah terbitnya fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, meskipun dengan syarat tertentu. Fatwa ini menjadi bukti bahwa fenomena sound horeg telah mencapai titik di mana dampaknya tidak bisa lagi diabaikan, mendorong otoritas keagamaan untuk turut campur tangan demi menjaga ketenteraman masyarakat.
Fenomena sound horeg kini menjadi cerminan kompleksitas antara hiburan rakyat, kebutuhan akan ekspresi budaya, dan tantangan menjaga harmoni sosial serta kelestarian lingkungan.
Pertanyaan besar yang tersisa adalah bagaimana menyeimbangkan semua aspek ini agar dentuman bass tidak lagi menjadi sumber keresahan, melainkan tetap menjadi bagian dari kegembiraan yang bertanggung jawab.















